Jumat, 17 Agustus 2012

Amankah Konsumsi Daging Domba?


Sering kali daging domba dikaitkan sebagai penyebab kolesterol dan penyebab hipertensi. Dalam kaitannya dengan pola konsumsi daging domba khususnya di Indonesia, harus dihilangkan stigma bahwa daging domba mengandung kolesterol tinggi dan penyebab hipertensi. Oleh karena itu, kebiasaan mengonsumsi daging domba justru harus dilakukan sejak usia dini.

Menurut Dr. Ir. Denie Heriyadi MS, dosen Fakultas Peternakan Unpad, ”Dari hasil penelitian di beberapa negara di dunia menyatakan bahwa, daging domba merupakan salah satu jenis daging merah yang sarat akan nutrisi dan aman untuk dikonsumsi. Apalagi daging domba muda atau lebih sering disebut juga dengan lamb yang berasal dari anak domba berusia  kurang dari 1 tahun ini, kaya akan protein, zat besi, Omega 3 dan Omega 6, yang baik untuk kesehatan jantung dan mengoptimalkan perkembangan fungsi otak.”

Padahal daging domba aman untuk dikonsumsi dan telah dianjurkan di beberapa negara maju. Di Kanada misalnya, Canada’s Food Guide to Healthy Eating merekomendasikan konsumsi lamb 2 hingga 3 kali di setiap menu penyajian daging, dan pemerintah Inggris menganjurkan untuk memberikan lamb pada menu balita di negaranya.

Tapi sayangnya  konsumsi  daging domba di Indonesia masih sangat rendah, hanya 0,24 gram perkapita perhari. Rendahnya tingkat konsumsi dikarenakan stigma yang ada di masyarakat Indonesia bahwa mengonsumsi daging domba terkait dengan sejumlah penyakit. Padahal sebetulnya baik tidaknya makanan itu  tergantung juga dari bagaimana cara kita memasaknya.

“Sebenarnya yang bahaya itu pola masak yang ada di masyarakat kita, biasanya masak daging itu sekaligus banyak. Jadi apabila dikonsumsi tidak habis, masakan itu dipanaskan, tidak habis lagi dipanaskan lagi. Lama kelamaan menyebabkan lemak yang tadinya tidak jenuh menjadi jenuh. Belum lagi apabila daging dibakar menjadi sate, di masyarakat kita cenderung menyukai sate itu yang gosong, sehinga menyebabkan radikal bebas. Hal inilah yang menyebabkan menjadi penyakit,” jelas Denie.

Justru hal-hal baik dari domba tidak diketahui oleh masyarakat. Oleh karena itu, pola pikir bahwa daging merupakan sumber penyakit, harus diluruskan mengingat manfaat daging merah yang baik untuk kesehatan, kecuali jika dikonsumsi secara berlebihan.

Minggu, 05 Agustus 2012

Air Bersih Tidak dikelola Secara Benar


Air bersih di Indonesia tidak dikelola secara benar.  Apa buktinya? Ketika musim hujan turun, selain menimbulkan daerah-daerah terkena genangan dan banjir, sebagian besar air akan terbuang langsung ke laut. Sebaliknya, ketika musim kemarau, banyak yang mengalami kekeringan. Padahal Indonesia mendapat kucuran air berlimpah dengan curah hujan rata-rata 2000 – 3000 mm/tahun.

Menurut Dr. Ir. Hendarmawan, MSc,  Dekan Fakultas Teknik Geologi Unpad, bahwa reboisasi tidak dilakukan di tempat yang tepat agar efeknya optimal. Akibatnya konservasi air bersih tidak bisa ditawar lagi. Konservasi tidak hanya untuk menjaga keberadaan air, tapi juga untuk meningkatkan kualitas air. Apalagi hingga kini, masih banyak masyarakat yang menggunakan air tanah.

Karena di Indonesia air masih dianggap berlimpah dan dapat diperbarui, maka konservasi air belum dapat perhatian dari berbagai pihak. Air, ungkap Dr. Hendarmawan, sebenarnya tidak pernah berkurang tetapi berubah bentuk melalui proses pembekuan atau penguapan. Justru yang menjadi permasalahan adalah apakah air itu masih bagus untuk dipakai atau tidak.

“Hal inilah yang membuat penting bagi kita untuk mempertahankan kualitas dan kuantitas air tawar yang ada di permukaan bumi agar masih bisa dimanfaatkan oleh manusia. Air yang sudah terlanjur masuk ke laut, tentu tidak dapat dimanfaatkan dan perlu waktu lama lagi untuk dapat dimanfaatkan dalam bentuk air hujan,” jelas Dr. Hendarmawan.

Apabila di musim hujan air terus terbuang langsung ke laut tanpa adanya ketahanan air, dikhawatirkan di musim kemarau seperti sekarang ini kuantitas air tanah akan berkurang karena terjadi penurunan permukaan air tanah.

“Kedalaman sumur di masyarakat kita rata-rata hanya berkisar 15 meter.  Apabila musim kemarau berkepanjangan, bisa kita banyangkan apabila air tanah mengalami penurunan sekira 20 meter.  Hal inilah yang menyebabkan kelangkaan air.  Untuk itu, pemakaian air tanah harus mempertimbangkan faktor kelestariannya, yang meliputi faktor kualitas maupun kuantitas,” urai Dr. Hendarmawan.

Untuk mengurangi penurunan permukaan air tanah dan juga melakukan ketahanan air, ada beberapa cara yang bisa dilakukan seperti menghemat air, menanam pohon, dan mengolah limbah cair rumah tangga. Selain itu, dengan membuat penampungan air hujan, menyediakan lahan untuk penyerapan air,  membuat resapan biopori, atau membuat sumur resapan,  maka fluktuasi muka air tanah pada waktu musim hujan dan kemarau tidak terlalu tajam.

Kualitas air permukaan yang saat ini menjadi komoditas utama sebagian besar masyarakat dunia tidak mungkin akan bertahan lama jika tidak dibarengi dengan pendidikan lingkungan yang layak, khususnya dalam pengelolaan air.

“Air bukan saja kepentingan untuk minum, melainkan kepentingan pertanian dan perikanan juga kepentingan industri. Dengan demikian, fungsi air yang bersifat sosial dan milik umum ini jelas menjadi tanggung jawab kita bersama karena masalah air adalah masalah bersama,” lanjut  Dr. Hendarmawan.

Cara yang paling efektif dalam pengelolaan sumber  daya air adalah peran serta masyarakat dan pendidikan sejak usia dini terhadap murid-murid sekolah dasar melalui kurikulum di sekolah.

“Karena dari semua masalah air yang terjadi, manusialah yang paling merasakan akibatnya,” pungkas Dr. Hendarmawan.

http://www.unpad.ac.id/archives/58027